Al Qur’an dan Ucapan Selamat Natal

 

Catatan penting seputar pernyataan beberapa tokoh dan penulis Membumikan Al Qur’an

Setiap menjelang akhir tahun masehi, masalah “mengucapkan selamat natal” selalu menjadi polemik ditengah-tengah ummat. Khusus pada akhir tahun ini (2012), perbincangan seputar hal ini semakin tajam mencuat ketika KH Ma’ruf Amin mengukuhkan kembali fatwa MUI tahun 1981 yang menyatakan haram mengucapkan selamat natal. Fatwa MUI yang lahir dimasa kepemimpinan Prof Buya Hamka ini seketika menuai protes, bahkan tak sedikit yang justru menyudutkan. Seperti yang dikatakan seorang tokoh muda ormas terbesar pada akun twitternya  ‏@zuhairimisrawi, Kamis (20/12/2012).

“Saya baru membaca naskah fatwa MUI 1981 tentang larangan mengikuti perayaan Natal. Ironi, MUI mengabaikan ayat 33 surat Maryam yang anjurkan Natal,” terangnya. Dijelaskan dia, ayat Alquran yang menganjurkan umat Islam mengucapkan selamat hari Natal dan boleh ikut merayakannya berbunyi; Selamat di hari kelahiranku, kematianku, dan dibangkitkan kembali (Maryam: 33). “Ayat ini diabaikan MUI,” terangnya. 

Pernyataan Zuhairi sebenarnya bukan hal baru, karena sebelum dia Prof. Quraish Shihab juga telah mengatakan hal serupa. Quraish bilang,

Sebenarnya, dalam al-Qur’an ada ucapan selamat atas kelahiran Isa,  “Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari aku wafat, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” Qs. Maryam: 33Surah ini mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama yang diucapkan oleh Nabi mulia itu.” 

Benarkah Al Qur’an menganjurkan umat Islam mengucapkan selamat natal kepada kaum Nasrani (Kristen) seperti yang banyak disuarakan belakangan?

Ucapan Isa “As-Salam (ar) atau selamat (salam sejahtera) kepadaku pada hari kelahiranku”(Maryam: 33) sejauh yang diterangkan para pakar tafsir bahwa Isa memberitakan perihal keselamatan dirinya pada proses kelahiran, dimana saat-saat itu merupakan kondisi kritis yang dialami setiap bayi. Oleh karena itu ucapan As-Salam atau salam sejahtera disini berlaku pula pada dua kondisi kritis lain yang Isa sebutkan sesudahnya, yaitu: dihari ketika wafat atau sakaratul maut dan dihari ketika dibangkitkan. Maka Isa Alaihissalam berdoa (meminta) kepada Rabnya untuk senantiasa mendapatkan keselamatan pada kondisi-kondisi ini. Inilah yang diterangkan oleh Imam Ibnu Katsir dan Imam Ibnu Jarir dan selainnya pada kitab tafsir mereka semoga Allah merahmati mereka.

Adapun bahwa ucapan Isa Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku…dst memiliki arti seperti yang dikatakan Quraish “merestui ucapan selamat Natal pertama…” jujur kami belum mendapati keterangan dari ulama terdahulu yang lebih dalam keilmuan dan ketakwaannya.

Bukankah dalam memahami agama seseorang hendaknya merujuk kepada pemahaman para pendahulu mereka yang shalih?! Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk.” Qs. Al Baqarah: 137.

Kemudian sejauh apa ucapan selamat natal berpengaruh terhadap akidah muslim?

Natal secara bahasa berarti kelahiran. Dan perayaan natal bagi orang Kristen memiliki arti lebih dalam lagi yaitu merayakan hari kelahiran Yesus Kristus atau kelahiran Allah sebagai manusia atau kedatangan anak Allah ke dunia. [1] Dan ini adalah kekufuran “Sungguh telah kafirlah orang yang mengatakan sesungguhnya Allah adalah Al Masih putra Maryam” Qs. Al Maidah: 72

Maka ucapan seorang muslim selamat natal kepada orang Kristen sama dengan perkataan “Selamat (salam sejahtera) atas kekafiran (kalian)”. Sedangkan ridha dengan kekafiran kufur.

Oleh karena itu tidak kita dapati pada manusia pilihan, sosok teladan dalam segala hal termasuk dalam bertoleransi, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bahwa beliau melakukan ini atau menganjurkannya. Bukankah masyarakat muslim Madinah pada masa itu juga hidup berdampingan dengan agama lain termasuk orang Kristen? Lalu apakah ajaran “toleransi” ini luput dari Sang Panutan kemudian datang manusia belakangan dengan segudang nilai “toleransi” yang ia aplikasikan dengan ucapan “selamat natal Qur’ani”?! Interaksi siapakah yang patut kita tiru?

Memang benar apabila dikatakan tidak ada teks khusus yang melarang mengucapkan selamat natal, sebagaimana tidak ada larangan tekstual dari mengkonsumsi rokok dan narkoba .  Karena teks Al Qur’an atau hadits sebagiannya bersifat umum, lalu darinya dipahami hukum-hukum termasuk larangan itu.

Terkait masalah ini, sebenarnya ada banyak teks Al Qur’an maupun hadits yang implisit dipahami sebagai larangan. Seperti larangan berkasihsayang dengan mereka, bekerjasama dalam dosa dan kemungkaran, larangan mengikuti hawanafsu mereka, mengikuti jejak langkah mereka, meniru ciri yang ada pada mereka dan banyak lagi. Belum lagi banyak kita dapati hadits-hadits prefentif yang mencegah dari kekufuran seperti hadits yang melarangan beribadah kepada Allah apabila dilakukan ditempat peribadatan mereka (orang kafir) dan banyak lagi.

Ibnul Qayyim (w.751 H) seorang ulama terkemuka abad ke-7 hijriah, telah menukil konsensus ulama (mufakat/ijma’) terkait haramnya mengucapkan selamat natal dan hari raya-hari raya orang kafir. Dan ijma’mu’tabar (sah) merupakan sumber hukum yang kuat setelah Al Qur’an, hadits dan tidak menjadi batal karena perselisihan yang datang sesudahnya.

Kerancuan Lain

Dalam buku Membumikan Al Qur’an, Quraish mengatakan,

“Tidak bolehkah kita merayakan hari lahir (natal) Isa a.s.? Bukankah Nabi saw. juga merayakan hari keselamatan Musa a.s. dari gangguan Fir’aun dengan berpuasa ‘Asyura, seraya bersabda, “Kita lebih wajar merayakannya daripada orang Yahudi pengikut Musa a.s.”

Perayaan natal bagi orang Kristen merupakan simbol keagamaan terbesar dan mengucapkan salam natal satu dari elemennya. Dan di dalam Islam ada ucapan khas “assalamu’alaikum”.

Mungkin kalau Nabi yang mulia Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dahulu merayakan natal tentu kita ummatnya akan turut merayakan sebagaimana dahulu nabi ikut puasa ‘Asyura. Sehingga seorang muslim mengucapkan “selamat natal” kepada muslim lainnya, bukan kepada mereka (orang Kristen), karena perbedaan mendasar antara “natal Qur’ani” dengan natal Nasrani seperti yang sudah dijelaskan. Kira-kira seperti itu apabila hal ini benar ada dicontohkan. Tapi dimana keterangan seperti itu berada?!

Maka tidak benar ucapan bahwa natal merupakan titik temu antara iman Islam dan iman Kristen. Sebagaimana hal ini juga diucapkan oleh Ketua Umum Baitul Muslimin Prof Hamka Haq. Hamka berujar,

“Sebab dengan hari natal itu, Islam dan Kristen sama-sama mengakui status atau dimensi kemanusiaan Yesus Kristus.”

 

 Kerancuan Lain

Pada sumber yang sama Quraish mengatakan,

“Bukankah ini sebagian dari kandungan Kalimat Sawa’ (Kata Sepakat) yang ditawarkan Al Qur’an kepada penganut Kristen dan Yahudi (Qs. Ali Imran: 64)? Kalau demikian apa salahnya mengucapkan selamat natal selama akidah masih dapat dipelihara dan selama ucapan itu sejalan dengan apa yang dimaksud oleh Al Qur’an sendiri…”

“Kalimat Sawa’” yang terdapat pada ayat 64 dari surat Ali Imran adalah tauhid Laa ilaaha Illallah “Bahwa kita tidak beribadah kepada selain Allah dan tidak menyekutukan Dia dengan suatu apa pun dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan (rab) selain Allah, jika mereka berpaling katakanlah: Saksikanlah sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri (muslim).”

Yaitu berupa ikrar iman dan sikap menolak semua peribadatan kepada selain Allah/ menafikan dan penetapan ibadah hanya milik Allah/ itsbat. Dengan kata lain yang “ditawarkan” Al Qur’an kepada penganut Kristen dan Yahudi adalah Laa Ilaaha Illallah (Islam), agar mereka menerima dan mengaplikasikan kandungannya di dalam kehidupan. Maka keterangan Quraish,

“Isa menunjuk dirinya sebagai “anak manusia,” sedangkan Muhammad Saw, diperintahkan oleh Allah untuk berkata, “Aku manusia seperti kamu,” Keduanya datang membebaskan manusia dari kemiskinan ruhani, kebodohan, dan belenggu penindasan…Keduanya datang membebaskan manusia baik yang kecil, lemah dan tertindas…Bukankah ini satu dari titik temu antara Muhammad dan Al Masih? Bukankah ini sebagian dari kandungan Kalimat Sawa’ yang ditawarkan Al Qur’an kepada penganut Kristen dan Yahudi?”

Hanya berlaku pada bingkai Kalimat Sawa’ yang pokok esensinya eksplisit tertera dalam Al Qur’an yaitu “Bahwa kita tidak beribadah kepada selain Allah dan tidak menyekutukan Dia dengan suatu apa pun dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan (rab) selain Allah.”

Pertanyaannya apakah orang-orang Kristen itu menerima hal ini atau menolaknya?

Kemudian dimana akan anda letakkan seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ini?”

“Sesungguhnya engkau (Muadz) mendatangi Ahli Kitab (Yahudi & Kristen), jadikalah ajakanmu yang pertama kepada mereka adalah mentauhidkan Allah”

“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada ditangan-Nya (Allah), tidak seorang pun dari ummat ini yang mendengar (diutusnya) aku apakah ia Yahudi atau Nasrani kemudian dia wafat dan tidak beriman kepada risalahku kecuali dia akan menjadi penghuni neraka.” HR Muslim.

Maka realisasi Islam sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin justru dengan tidak membiarkan kekufuran atau merestuinya. Tanggung jawab mendakwahkan Islam kepada ummat lain di luar Islam adalah kewajiban setiap individu muslim tanpa pengecualian. Bahkan dakwah kepada tauhid merupakan ciri ummat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Katakanlah (wahai Nabi): inilah jalanku, aku menyeru kejalan Allah diatas bashirah (ilmu), aku dan orang-orang yan mengikuti aku dan Maha Suci Allah  dan aku bukan termasuk orang-orang musyrik.” Qs. Yusuf: 108

Dan sebaliknya merestui kekufuran mereka dengan cara apa pun justru merupakan sikap pembiaran yang akan mencelakakan mereka. Karena itu untuk tujuan inilah disyariatkan jizyah atau menarik upeti dari Ahli Dzimmah (Yahudi/Kristen yang tinggal dibawah naungan Islam) agar mereka merasakan hinanya kekufuran dan mengambil jalan Islam. “…sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk (hina).” Qs. At-Taubah: 29 yaitu sampai mereka berjalan menyerahkan upeti sendiri bukan dijemput dan mereka membenci kehinaan ini.

Maka prinsip ini pada hakikatnya adalah empati kepada mereka dan sama sekali tidak bertentangan dengan berdampingan hidup dengan mereka selagi mereka tidak memerangi muslimin, “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” Qs. Mumtahanah: 8

Wallahua’lam

Jafar Salih

27.12.12

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *