Hakikat Mazhab Al Imam Al Mujaddid Seputar Persoalan Udzur bil Jahl

Al Imam Al Mujaddid Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata dalam risalah Kasyf Syubuhat, “maka seseorang tidak diberi udzur dengan sebab kejahilan”

Ucapan ini merupakan redaksi langsung dari penulis bahwa tidak ada udzur karena kejahilan dalam persoalan pokok agama, dimana pelaku kesyirikan disebut musyrik, kafir meski jahil.

Adapun ucapan beliau lainnya yang bias dan samar yang terdapat pada sumber yang lain hendaknya dipahami dalam bingkai keterangannya yang tegas disini. Karena membawa ucapan seorang alim kepada makna yang searah lebih beradab daripada mempertentangkannya.[1]

Diantara perkataan beliau yang samar dan dipertentangkan dengan ucapannya disini adalah ucapan beliau yang terdapat pada akhir risalah yang beliau tulis kepada penduduk Qashim;

وإذا كنا لا نكفر من عبد الصنم الذي على عبد القادر والصنم الذي على قبر أحمد البدوي لأجل جهلهم وعدم من ينبههم، فكيف نكفر من لم يشرك بالله إذا لم يهاجر إلينا أو لم يكفر ويقاتل؟!

“Kalau kami tidak mengkafirkan orang yang beribadah kepada berhala yang berada diatas kuburan Abdul Qadir dan berhala yang berada diatas kuburan Ahmad Al Badawi disebabkan kejahilan mereka dan tidak ada yang memperingatkan mereka, bagaimana kami bisa mengkafirkan orang yang tidak menyekutukan Allah ketika dia tidak hijrah kepada kami dan tidak ikut mengkafirkan dan memerangi?!”[2]

Begitu juga ucapannya saat membela diri dari tuduhan mengkafirkan Ibnu Farid dan Ibnu Arabi,

ثم لا يخفى عليكم أنه بلغني أن رسالة سليمان بن سحيم قد وصلت إليكم ، وأنه قبلها وصدّقها بعض المنتمين للعلم في جهتكم، والله يعلم أن الرجل افترى عليَّ أموراً لم أقلها ، ولم يأت أكثرها على بالي. فمنها إني مبطل كتب المذاهب الأربعة،،، وأني أكفر من حلف بغير الله، وأني أكفر ابن الفارض وابن عربي،،، جوابي عن هذه المسائل أن أقول سبحانك هذا بهتان عظيم!!

“Kemudian tidak luput dari kalian bahwasanya telah sampai kepadaku, bahwa risalah Sulaiman bin Suhaim telah sampai kepada kalian, dan surat ini diterima dan dibenarkan oleh sebagian orang yang mengaku berilmu disisi kalian. Padahal Allah Maha Mengetahui bahwa orang ini membuat-buat kedustaan atas namaku  dari perkara-perkara yang tidak pernah aku katakan dan mayoritasnya tidak pernah terlintas dibenakku. Diantaranya: Bahwa aku menghapus kitab-kitab mazhab yang empat, dan bahwa aku mengatakan,,,,dan bahwa aku mengatakan,,,dan bahwa aku mengkafirkan orang yang bersumpah dengan selain nama Allah, dan bahwa aku mengkafirkan Ibnul Faridh dan Ibnu Arabi, dan bahwa aku,,,dan bahwa aku,,,. Jawabanku tentang tuduhan-tuduhan ini, aku katakan: Maha Suci Engkau (Ya Allah) sesungguhnya ini merupakan kedustaan yang besar!”[3]

Dari dua teks diatas mudah saja bagi seseorang untuk menarik kesimpulan -tanpa harus letih menuntut ilmu- bahwa Al Imam Al Mujaddid rahimahullah tidak mengkafirkan penyembah kubur yang jahil dengan ta’yin (personnya), bahkan sekalipun orang yang berat kekufurannya seperti Ibnul Faridh dan Ibnu Arabi.[4]

Tapi apabila kita mau menelaah lebih jauh lagi sesungguhnya Al Imam Al Mujaddid rahimahullah memiliki ucapan-ucapan lain yang bersebrangan dengan dua kutipan diatas. Saya bawakan dua diantaranya;

Pertama, beliau berkata dalam risalah ke delapan dari Ar-Rasail Asy-Syakhshiyyah;

“Maka ketika mereka melihatku mengajak orang-orang kepada ajaran yang dibawa oleh Nabi mereka Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, bahwa tidak ada yang diibadahi kecuali Allah, dan bahwa barangsiapa beribadah kepada Abdul Qadir maka dia kafir dan Abdul Qadir berlepas diri darinya dan begitu pula orang-orang yang menyeru orang-orang shalih atau para wali atau memanggil mereka atau sujud kepada mereka atau bernazar untuk mereka atau memberikan kepada mereka salah satu dari macam-macam ibadah yang merupakan hak Allah semata atas segenap hamba-Nya,,,dstnya.”

Perhatikanlah ucapannya disini bagaimana beliau menetapkan bahwa orang yang beribadah kepada Abdul Qadir kafir, padahal pada kutipan sebelumnya beliau justru menolak mengkafirkannya! “Dan jika kami tidak mengkafirkan orang yang beribadah kepada berhala yang berada diatas kuburan Abdul Qadir dikarenakan kejahilan mereka dan tidak ada yang memberitahu mereka.”

Hal ini berarti disatu tempat beliau mengkafirkan orang yang beribadah kepada Abdul Qadir dan di tempat lain beliau tidak mengkafirkan. Lantas manakah yang merupakan madzhabnya? Sedangkan menguatkan salah satu ucapan yang bersebrangan itu tanpa dalil adalah pemerkosaan terhadap teks-teks dan bentuk pemaksaan kehendak. Akan kami jelaskan!

Kedua, tentang perkataan beliau akan status keislaman Ibnul Faridh dan Ibnu Arabi. Beliau berkata dalam risalah ke 28 dari kitab Ar-Rasaa’il Asy-Syakhshiyyah;

“Dan tuduhanmu bahwa kami mengkafirkan muslimin, “bagaimana kamu lakukan itu”, “bagaimana kamu lakukan ini”, sesungguhnya kami tidak mengkafirkan muslimin, tidak ada yang kami kafirkan kecuali musyrikin. Dan begitu pula diantara orang yang paling sesat para sufi di Ma’kal dan selainnya seperti anak Musa bin Jau’an dan Salamah bin Maani’ dan selain mereka berdua. Mereka mengikuti madzhab Ibnu Arabi dan Ibnul Faridh. Padahal ulama telah menyebutkan bahwa Ibnu Arabi diantara imamnya madzhab Al Ittihadiyah dan mereka lebih kafir dari Yahudi dan Kristen. Maka siapa saja yang tidak masuk kepada agama Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan berlepas diri dari agama Al Ittihadiyah, maka ia kafir, berlepas diri dari Islam dan tidak sah shalat dibelakangnya dan tidak diterima kesaksiannya…”

Lihatlah bagaimana disini beliau mengkafirkan Ibnul Faridh dan Ibnu Arabi dan mengkafirkan orang-orang yang tidak berlepas diri dari agama Al Ittihadiyah! Padahal sebelumnya beliau membela diri dari tuduhan mengkafirkan Ibnu Faridh dan Ibnu Arabi. Apakah antara ucapan-ucapan ini kontradiktif, saling bertabrakan atau yang satunya muhkam dan lainnya mutasyabih?

Berikut ini adalah keterangan pada ulama dalam mendudukkan ucapan Al Imam Al Mujaddid diatas.

1-  Maksud ucapan beliau “…kami tidak mengkafirkan orang yang beribadah kepada berhala yang berada diatas kubur Abdul Qadir…” adalah tidak terang-terangan mengkafirkan.[5] Dan tidak terang-terangan mengkafirkan bukan berarti tidak mengkafirkan dengan hati. Karena beliau meyakini kafirnya para penyembah berhala, namun beliau ingin menyampaikan dakwahnya secara bertahap.Karena di awal dakwahnya orang-orang banyak mengingkarinya. Sehingga tidak bijak terang-terangan mengkafirkan dalam kondisi ini.

Diantara dalil dan bukti bahwa beliau berdakwah dengan bertahap adalah surat yang beliau kirim kepada Abdullah bin Isa dan anaknya Abdul Wahhab. Beliau berkata;

بل والله الذي لا إله إلا هو لو يعرف الناس الأمر على وجهه لأفتيت بحل دم ابن سحيم وأمثاله ووجوب قتله، كما أجمع على ذلك أهل العلم كلهم

“Bahkan demi Allah, yang tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Dia, kalau manusia mengetahui perkara ini sebagaimana seharusnya, tentu aku sudah fatwakan halalnya darah Ibnu Suhaim dan orang-orang semisalnya dan wajibnya membunuh dia, sebagaimana ulama seluruhnya sepakat akan hal ini.”[6]

Tapi beliau tidak memfatwakan hal itu demi maslahat dakwah.

Artinya jika masyarakat ketika itu hidup diatas ajaran kesyirikan dan kekufuran dan semisalnya, bukan jalan yang bijak bagi seorang da’i untuk langsung mengkafirkan mereka terang-terangan. Tapi cukup ia meyakini murtadnya mereka, adapun terang-terangan seorang da’i harus menempuhnya secara bertahap sampai manusia terbiasa dengan dakwah ini.

2- Hampir sama dengan yang pertama, bahwa beliau tidak mengkafirkan mereka dalam rangka mudaarah (mengalah dalam urusan dunia) demi kemaslahatan dakwah.

Pada risalah ke 34 dari Ar-Rasa’il Asy-Syakhshiyyah beliau mengirim surat kepada Sulaiman bin Suhaim, ia berkata:

وقبل الجواب نذكر لك أنك أنت وأباك مصرحون بالكفر والشرك والنفاق، ولكن صائر لكم عند جماعة في معكال قصاصيب وأشباههم يعتقدون أنكم علماء، ونداريكم ودنا أن الله يهديكم ويهديهم.

“Dan sebelum menjawab, kami sebut dihadapanmu bahwa kamu dan bapakmu terang-terangan melakukan kekufuran dan kesyirikan dan kemunafikan. Akan tetapi kamu dimata orang-orang di Ma’kal Qashashib dan orang-orang semisal mereka, kamu diyakini sebagai ulama. Dan kami bermudaarah dengan kalian, semoga Allah menunjuki kalian dan mereka.”

Al Imam Al Mujaddid rahimahullah memandang ia perlu ber mudaarah (mengalah demi maslahat dakwah) meskipun lawannya telah terjatuh kepada kekufuran, kesyirikan dan nifak. Tapi ketika tampak olehnya bahwa lawannya membangkang, beliau pun menjelaskan dengan lisannya.

3- Bahwa ucapan itu beliau ucapkan di awal dakwah apakah karena waktu itu dakwah masih lemah seperti yang saya sebutkan pada point pertama, atau karena perkara ini belum begitu jelas bagi beliau sehingga menyangka pada perkara ini ada khilaf (perselisihan). Karena diketahui dari pernyataan beliau sendiri bahwa ia berproses menuju fase-fase kematangan tauhid. Beliau berkata pada risalah ke 28 dari Ar-Rasail Asy-Syakhshiyyah:

“…dan aku ceritakan tentang diriku, demi Allah Dzat Yang tidak ada yang berhak diibadahi selain Dia, aku telah menuntut ilmu dan orang yang mengenalku menyangka bahwa aku memiliki ilmu, padahal aku waktu itu tidak mengenal makna Laa ilaaha Illallah dan aku tidak mengenal agama Islam sebelum anugrah yang Allah curahkan padaku ini. Begitu pula guru-guruku, tidak seorang pun dari mereka yang mengetahui ini. Dan barangsiapa menyangka bahwa dari para ulama alam bahwa ia mengetahui makna Laa ilaaha Illallah atau makna Islam sebelum ini atau menyangka dari guru-guruku bahwa ada seorang dari mereka yang mengetahui ini, maka ia telah berdusta dan berbuat kebohongan dan menipu manusia dan memuji dirinya dengan yang tidak pantas.”

Seperti inilah penjelasan Al ‘Allamah Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah ketika disodorkan kepada beliau perkataan Al Imam diatas. Beliau berkata, “Sepertinya itu di awal dakwah.”[7]

Adapun Asy-Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan hafidzahullah menegaskan, “Itu karena tidak ada yang memberi tahu mereka. Syaikh tidak mengatakan tidak kafir sama sekali, tapi karena tidak ada yang memberi tahu mereka. Tapi sekarang, keterangan telah tersebar dimana-mana…dstnya.”[8]

4- Para ulama dari garis keturunan penulis sendiri telah menerangkan ucapan kakek mereka sendiri sebagaimana pada poin ketiga bahwa maksud dari ucapan “tidak mengkafirkan” artinya tidak langsung memerangi sampai diberitahu dulu.

Asy-Syaikh Abdullah dan Ibrahim bin Abdullahif dan Syaikh Sulaiman bin Sahman rahimahumullah berkata;

“Adapun nukilan dari Asy-Syaikh Muhammad bahwa beliau tidak mengkafirkan orang-orang yang berada di sekitar kubah Al Kawwaz dan semisalnya. Dan bahwa beliau tidak mengkafirkannya sampai mendakwahinya dan hingga hujjah sampai kepadanya. Kami katakan; Benar! Karena sesungguhnya Asy-Syaikh tidak mengkafirkan manusia begitu saja kecuali setelah tegaknya hujjah dan didakwahi. Karena mereka pada saat itu berada pada masa fatrah dan ketidaktahuan akan ajaran kenabian. Karena itu beliau bilang “karena kejahilan mereka dan tidak ada yang memberitahu.”…dstnya.”[9]

Saya katakan; Ulama telah sepakat bahwa ahli fatrah di dunia kafir dan di akhirat diuji kembali. Maka tidak mengkafirkan artinya tidak memerangi. Wallahu a’lam.

5- Diantara ulama ada yang dengan tegas mengatakan bahwa ucapan penulis “kami tidak mengkafirkan…” telah mengalami pengurangan atau penyelewengan.

Adalah Asy-Syaikh Al ‘Allamah Hamid Al Faqi rahimahullah yang berkata pada catatan kaki terhadap kitab Mishbah Adz-Dzalam (hal 28) sebagai berikut;

“Pada ucapan ini dipastikan terdapat pengurangan atau penyelewengan. Karena kesimpulannya berakhir pada kekeliruan yang fatal dan bertentangan dengan teks-teks Al Kitab dan As-Sunnah. Apabila beliau tidak mengkafirkan orang yang beribadah kepada berhala lalu siapa yang kafir? Tidak diragukan bahwa ini bukan dakwah Islam, bukan dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang terkenal di dalam Kitab At-Tauhid, Kasyf Syubuhat, Tsalatsatul Ushul dan kitab-kitab lainnya yang menerangkan bahwa tidak sah islam seseorang sampai dia mengetahui apa itu thaghut, mengkafirkannya, memusuhinya dan memusuhi orang-orang yang mengibadahinya…” dstnya.[10]

Wallahua’lam.

[Syarh Kasyf Syubuhat, Menyingkap Kerancuan Argumentasi Musyrikin dan Para Pembelanya, Jafar Salih, Pustaka Linkar Sahabat 2018]

=================================================================

 

[1] Kami telah menulis persoalan ini dalam buku sendiri dengan judul “Hakikat Kesyirikan dan Persoalan Udzur bil Jahl”. Semoga Allah mudahkan merampungkannya.

[2] Durarus Sanniyyah (1/104).

[3] Ar-Rasa’il Asy-Syakhshiyyah (halaman 11-12)

[4] Sungguh kami telah dapati da’i mengaku salafi yang mengatakan, “Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak mengkafirkan Ibnu Arabi!” Ini diantara keajaiban abad ini.

[5] Kelompok anti takfir mengira bahwa mengkafirkan berarti mengumbar kata-kata “kafir”. Dugaan mereka ini berasal dari jeleknya pemahaman dan buruk sangka terhadap sesama muslim. Karena tidak ada keharusan mengkafirkan berarti terang-terangan melontarkan kata-kata “kafir”. Meyakini kafirnya pelaku syirik besar sekalipun jahil adalah konsekwensi sebagai muslim, adapun melontarkan kata-kata “kafir” adalah sikap dakwah yang keperluannya tergantung maslahat. Karena diketahui orang Kristen sekalipun akan marah apabila dituduh kafir. Maka bukan hikmah dalam dakwah mengumbar kata-kata kafir, meskipun kita meyakini dalam hati orang tersebut telah kafir kepada Allah Ta’aala.

[6] Risalah ke 49 dari Ar-Rasa’il Asy-Syakhshiyyah

[7] Sumber: http://www.tauhidfirst.net/pandangan-syaikh-ibnu-baz-atas-klaim-bahwa-syaikh-muhammad-bin-abdul-wahhab-tidak-mengkafirkan-penyembah-kubur/

[8] Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=MJ-q3xARNq4

Saya katakan; Anda lihat, dimanakah orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai dai-dai tauhid disisi keterangan ulama rabbani ini?! Dengan lancang mereka menggembar-gemborkan pelaku syirik besar kalau jahil tidak kafir! Dan menisbatkan pendapat ini kepada Al Imam Al Mujaddid! Bahkan mereka para pendusta yang jahat.

[9] Durarus Sanniyah (11/430)

[10] Sumber; http://www.al-afak.com/showthread.php?t=7811

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *