Mewaspadai Penyimpangan buku “Memahami Kalimat Syahadat Menurut Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah” karya Ust. Yazid Jawwas

Segala puji hanya milik Rab semesta alam, dan akhir yang baik hanya bagi orang-orang bertakwa, dan tidak ada permusuhan kecuali kepada orang-orang dzalim.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga beliau dan kepada para shahabatnya, amin.

Tanpa sengaja saya mendapati buku yang berjudul “Memahami Kalimat Syahadat Menurut Akidah Ahlussunnah wal Jamaah” (selanjutnya disebut MKS) tulisan Yazid bin Abdul Qadir Jawwas, sebagaimana tertulis pada sampulnya. Dalam buku ini penulisnya berbicara tentang pembatal-pembatal keislaman yang dia nukil dari beberapa kitab berbahasa arab, diantaranya; Silsilah Syarhil Rasa’il lil Imam Al Mujaddid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (halaman 209-238) oleh; Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan, cet I, th. 1424 H dengan kesimpulan yang dia buat sendiri serta meleset dengan sangat jauh dari buku aslinya.

Kesalahan penulis pada bab ini terjadi pada 3 poin;

1- Memotong dan membuang ucapan penulis kitab asli

2- Menambahkan dengan tambahan yang keluar dari kesimpulan penulis kitab asli dan pensyarahnya

3- Menisbatkan tulisan yang telah mengalami perubahan kepada penulis kitab asli dan pensyarahnya dan mengklaimnya bahwa itu adalah akidah Ahlussunnah wal Jama’ah.

Rincian dari poin-poin di atas adalah sebagai berikut;

1- Penulis telah memotong dan membuang ucapan penulis kitab asli.

Penulis kitab Nawaqidhul Islam yang menjadi sumber nukilan penulis buku MKS adalah Al Imam Al Mujaddid Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Merujuk kepada kitab Syarah Silsilah Rasa’il yang merupakan syarah dari guru kami Dr. Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan, cetakan 1 tahun 1424, setelah menyebutkan pembatal ke 10 pada halaman 236 Al Imam Al Mujaddid berkata;

ولا فرق في جميع هذه النواقض بين الهازل والجاد والخائف إلا المكره…الخ

“Dan tidak ada perbedaan pada semua pembatal-pembatal ini antara orang yang melakukannya main-main, sungguh-sungguh, dan takut. Kecuali orang yang dipaksa.”

Paragraf penting ini telah mengalami pemenggalan/ batr, dimana penulis buku MKS telah sengaja membuang dan tidak memasukkannya ke dalam tulisannya, hal ini jelas melanggar sisi amanah ilmiyah, karena telah menisbatkan tulisannya kepada penulis asli dan pensyarahnya. Lihat catatan kaki no 333 halaman 262 buku MKS.

Ia berkata; “Pembahasan ini dinukil dari; Silsilah Syarhil Rasa’il lil Imam Al Mujaddid Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah (halaman 209-238)”

Padahal dengan paragraf ini (ucapan Al Imam Al Mujaddid: “Dan tidak ada perbedaan pada semua pembatal-pembatal ini antara orang yang melakukannya main-main, sungguh-sungguh, dan takut. Kecuali orang yang dipaksa.”) penulisnya ingin membingkai persoalan pembatal-pembatal keislaman, dimana orang yang melakukan salah satu pembatal keislaman dengan sadar dan kerelaan serta tidak dibawah paksaan telah kafir dan tidak diberi udzur. Dan bahwa udzur diberikan hanya pada satu keadaan saja yaitu; dipaksa dengan hati yang tetap tenang di atas keimanan. Tapi paragraf penting ini justru dibuang dan tidak dicantumkan oleh penulis buku MKS.

Asy-Syaikh Abdul Aziz Ar-Rajihi hafidzahullah, seorang ulama senior di Saudi Arabia berkata pada penjelasannya terhadap kitab Nawaqidhul Islam karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah;

Tidak ada perbedaan antara orang yang melakukannya main-main, sungguh-sungguh, dan takut. Kecuali orang yang dipaksa. Sehingga keadaannya ada 5;

Kondisi pertama; Melakukan kekufuran atau pembatal dari pembatal-pembatal keislaman main-main, becanda, dia kafir.

Kondisi kedua; Melakukan kekufuran atau pembatal dari pembatal-pembatal keislaman sungguh-sungguh, dia kafir.

Kondisi ketiga; Melakukan kekufuran atau pembatal dari pembatal-pembatal keislaman karena takut, dia kafir.

Kondisi keempat; Melakukan kekufuran karena dipaksa dan hatinya tenang di atas kekufuran, dia kafir.

Kondisi kelima; Melakukan kekufuran karena dipaksa dan hatinya tenang di atas keimanan, dia tidak kafir.

Kemudian beliau hafidzahullah berkata; Allah Ta’aala hanya mengecualikan satu keadaan yaitu orang yang dipaksa dengan syarat hatinya (tenang diatas keimanan);

إلا من أكره وقلبه مطمئن بالإيمان

“Adalah orang-orang yang dipaksa dan hatinya tetap tenang di atas keimanan” (Qs. An-Nahl; 106) –selesai nukilan.

Berdasarkan keterangan di atas, Al Imam Al Mujaddid rahimahullah dalam kitab Nawaqidh nya telah membatasi bahwa orang yang tidak kafir alias diberi udzur hanya pada satu kondisi dan keadaan saja yaitu; orang yang dipaksa sedangkan hatinya tetap tenang di atas keimanan, berdasarkan ayat 106 dari surat An-Nahl diatas.

Inilah yang kami dapati dari ulama kami. Sedangkan penulis buku MKS justru membuang bagian penting ini dan menambahkan keterangan yang jauh panggang dari api. Keterangannya dibawah ini;

2- Disamping membuang satu paragraf penting diatas, padahal ia memberikan kesimpulan yang sesuai dengan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, penulis buku MKS juga menambahkan kejahilan sebagai penghalang kekafiran.  Tambahan ini ia nukil dari perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, sedangkan ucapan Ibnu Taimiyah tersebut konteksnya berbeda, diluar persoalan pembatal yang terang seperti yang dijelaskan para ulama. Sehingga kesimpulan pembatal-pembatal keislaman Al Imam Al Mujaddid yang seharusnya sejalan dengan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah dipalingkan oleh penulis MKS menjadi mencocoki akidah Murji’ah bahkan Jahmiyah dengan cara-cara mengesankan seolah itulah akidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Penjelasannya sebagai berikut ini;

Penulis buku MKS hadahullah  berkata (halaman 276-277);

“Pembatal-pembatal keislaman yang disebutkan di atas adalah hukum yang bersifat umum. Maka, tidak diperbolehkan bagi seseorang tergesa-gesa dalam menetapkan bahwa orang yang melakukannya langsung keluar dari Islam.” Kemudian penulisnya membawakan perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah yang memasukkan kondisi; tidak mengetahui/jahil sebagai penghalang kekafiran.

Sekarang mari kita dudukkan masing-masing pembatal keislaman dari yang pertama sampai yang kesepuluh menurut versi dan kaidah penulis buku “Memahami” hadahullah, amin.

1- Pada halaman 262 penulis berkata; “Menyekutukan Allah (Syirik)” kemudian dia berkata; “Di antara bentuk kesyirikan adalah berdoa, memohon syafaat, bertawakkal, ber-istighatsah, ber-nadzar, menyembelih yang ditujukan kepada selain Allah, seperti menyembelih untuk jin atau untuk penghuni kubur…dstnya.”

Kesimpulan pembatal ini bagi penulis, pelaku pembatal ini kafir kecuali jika jahil maka tidak kafir.

2- Pada halaman 263 penulis berkata; “Orang yang membuat perantara antara diri-Nya dengan Alah, yaitu berdoa, memohon syafaat, serta bertawakkal kepada mereka” Kemudian dia berkata; Perbuatan-perbuatan tersebut termasuk amalan kekufuran menurut ijma’ (kesepakatan para ulama)”

Kesimpulan pembatal ini bagi penulis, pelaku pembatal ini kafir kecuali jika jahil maka tidak kafir.

3- Pada halaman 264 penulis berkata; “Tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, atau meragukan kekafiran mereka, atau membenarkan pendapat mereka.” Kemudian dia berkata; Yaitu orang yang tidak mengkafirkan orang-orang kafir –baik dari Yahudi, Nashrani maupun Majusi-, orang-orang musyrik, atau orang-orang mulhid (atheis)…termasuk juga seseorang yang memilih kepercayaan selain Islam, seperti Yahudi, Nasrani, Majusi, Komunis, Sekularisme, Masuni, Ba’ats, atau keyakinan (kepercayaan) lainnya yang jelas kufur, maka ia telah kafir.”

Kesimpulannya pembatal ini bagi penulis, pelaku pembatal ini kafir kecuali jika jahil maka tidak kafir. Dengan kata lain orang yang tidak mengkafirkan orang kafir asli, yang memilih kepercayaan selain Islam seperti Yahudi, Nasrani, Majusi, Komunis, Sekularisme, Masuni, Ba’ats dstnya… kafir, kecuali kalau jahil maka tidak kafir. Innaalillahi wa Innaa Ilaihi Raji’un…

4- Pada halaman 266 penulis berkata; “Meyakini adanya petunjuk yang lebih sempurna daripada sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.” Kemudian ia berkata; “Orang yang meyakini bahwa ada petunjuk lain yang lebih sempurna daripada petunjuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, atau orang yang meyakini bahwa ada hukum lain yang lebih baik daripada hukum Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, seperti orang-orang yang lebih memilih hukum-hukum thaghut daripada hukum Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam maka ia telah kafir.

Termasuk juga di dalamnya adalah orang-orang yang meyakini bahwa peraturan dan undang-undang yang dibuat manusia lebih afdhal (utama) daripada syariat Islam, atau orang yang meyakini bahwasanya hukum Islam tidak relevan (sesuai) lagi untuk diterapkan di zaman sekarang ini, atau orang meyakini bahwa Islam sebagai sebab ketertinggalan ummat. Termasuk juga orang-orang yang berpendapat bahwa pelaksanaan hukum potong tangan bagi pencuri, atau hukum rajam bagi orang yang (sudah menikah lalu) berzina sudah tidak sesuai lagi di zaman sekarang.

Juga orang-orang yang menghalalkan hal-hal yang telah diharamkan oleh Allah Ta’aala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berdasarkan dalil-dalil syar’i yang telah tetap seperti zina, riba, meminum khamr, dan berhukum dengan selain hukum Allah, atau selain itu, maka ia telah kafir berdasarkan ijma’ para ulama.”

Kesimpulan pembatal ini bagi penulis; Pelaku pembatal ini semua kafir, kecuali kalau jahil maka tidak kafir.

Maka tidak kafir bagi penulis orang yang meyakini hukum buatan lebih sempurna, atau boleh berhukum dengan hukum buatan dstnya apabila jahil.

Tidak kafir bagi penulis orang yang menghalalkan zina apabila jahil, menghalalkan riba apabila jahil, menghalalkan minum khamr apabila jahil sekalipun orang tersebut tinggal di tengah peradaban dan bukan orang yang baru masuk Islam. Karena penjelasan penulis disini mutlak dan tidak rinci. Padahal para ulama dahulu dan sekarang telah menjelaskan tidak sama antara orang yang baru masuk Islam dengan selainnya, atau orang yang tinggal di pedalaman yang jauh dengan orang yang tinggal di tengah peradaban dalam melakukan pelanggaran-pelanggaran agama.

Al Imam Al Mujaddid rahimahullah menerangkan;

“Sesungguhnya orang yang belum tegak hujjah adalah orang yang baru masuk Islam, dan orang yang tumbuh di pedalaman yang jauh, atau pelanggarannya terjadi pada persoalan yang samar seperti sharf dan athf maka pelakunya tidak kafir sampai diberitahu. Dan adapun pokok-pokok agama yang telah Allah terangkan dan sempurnakan keterangannya di dalam kitab-Nya sesungguhnya hujjah Allah adalah Al Qur’an. Maka barangsiapa sampai kepadanya Al Qur’an maka hujjah telah sampai kepadanya…dstnya.”

Begitu pula tidak kafir bagi penulis berdasarkan versi dan kaidahnya, orang yang membenci sebagian ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam karena jahil (halaman 267), orang yang menghina Islam, mengolok-olok Allah, dan Rasul-Nya, Al Qur’an dstnya dari syi’ar-syi’ar agama karena jahil (halaman 268).

Dan begitu juga tidak kafir bagi penulis orang yang melakukan praktek-praktek sihir (halaman 269) karena jahil,

orang yang membantu orang kafir dalam memerangi muslimin (halaman 270) karena jahil, orang yang meyakini manusia bebas keluar dari syariat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (halaman 271) karena jahil dan orang yang berpaling dari agama Allah, tidak mempelajari pokok agama yang menjadikan agamanya sah, dan tidak mengamalkannya (273) karena jahil.

Maka tidak perlu heran jika sekarang ini ada penuntut ilmu yang tidak meyakini kafirnya orang yang menghalalkan zina karena menurutnya harus hilang syubhat. Atau tidak meyakini kafirnya orang yang mencela azan dan membandingkannya dengan suara kidung yang katanya lebih indah daripada azan karena menurutnya jahil. Atau orang yang tidak meyakini kafirnya orang yang pindah agama karena menurutnya pengkafiran harus ulama. Atau lebih parah lagi orang yang meyakini Islamnya penyembah jin (Nyi Roro Kidul) dan menghadiahinya pahala karena ijtihad sekalipun ijtihadnya keliru karena menurutnya jahil belum tegak hujjah, padahal yang disembah jin kafir lebih jelek daripada objek ibadah musyrikin dulu yang beribadah kepada orang shalih. Muara semua kekacauan ini ada pada kaidah seperti yang terdapat pada buku MKS ini.

3- Terakhir, penulis buku MKS menisbatkan karyanya ini kepada kitab Nawaqidul Islam Al Imam Al Mujaddid Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dengan syarahnya, padahal kesimpulan kedua kitab ini; Nawaqidul Islam berikut syarahnya dan buku  MKS berbeda sejauh langit dan bumi bagi siapa yang mau mempelajari. Ini adalah pengelabuan dan cara-cara curang yang biasa ditempuh Ahli bid’ah yang membungkus kebatilannya dengan menisbatkannya kepada ulama-ulama Islam demi melariskan jualannya.

Saran saya kepada penulis buku MKS segera bertaubat dan meralat tulisannya dan menanyakan pemahamannya kepada ulama Rabbani, ulama tauhid.

Dan kepada para pembela serta loyalisnya hendaknya meninggalkan sikap fanatik kepada person karena hal ini yang telah menyebabkan orang-orang dulu tidak bisa menerima kebenaran sehingga mereka celaka, dan begitu juga nasib orang sekarang apabila tidak keluar dari sikap ta’assub dan fanatik hizbiyahnya.

Hanya kepada Allah kami mohon pertolongan, agar dia menampakkan yang benar sebagai kebenaran dan memudahkan kita untuk mengikutinya dan menampakkan yang batil sebagai kebatilan dan memudahkan kita untuk meninggalkannya. Hanya kepada Dia kita beribadah dan hanya kepada-Nya kita mohon pertolongan dan akan dikembalikan.

Hasbunallahu wani’mal Wakil…

Wa Shallallahu ‘Ala Sayyidina Muhammad, wa ‘Alaa Aalihi washahbihi wasallam.

Bogor, Rabu 19 Rabiul Awal 1441 H

Jafar Salih

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *