Secercah Faidah dari Al-Qawa’id Al-Arba’ (bagian 1)

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Salah satu karya monumental dari al-Imaam al-Mujaddid asy-Syaikh Muhammad bin AbdilWahhab rahimahullaah adalah “al-Qawa’id al-Arba’ “, atau yang bisa diterjemahkan dengan Empat Pondasi.
Sebuah karya yang sangat bermanfaat dan dipelajari di berbagai belahan dunia.

Maka, insyaa Allaah, dalam tulisan ini kami mencoba mengurai beberapa faidah dari judul dan maksud penulisan kitab.

– Faidah 1: Empat Pondasi dalam apa?

Judul risalah “Empat Pondasi” meninggalkan pertanyaan bagi yang belum pernah membacanya. Pondasi dalam apakah yang dimaksud?

Maka telah diterangkan oleh asy-Syaikh sendiri dalam kitab ini. Setelah menyebutkan bahaya, akibat serta pentingnya untuk memahami perkara kesyirikan, asy-Syaikh kemudian menjelaskan maksud dari Empat Pondasi yaitu pondasi dalam memahami hakikat kesyirikan lewat perkataanya:

وذلك بمعرفة أربع قواعد ذكرها الله في كتابه
“Dan itu (memahami kesyirikan) adalah dengan mengetahui EMPAT PONDASI yang Allaah Ta’aalaa sebutkan dalam Al-Qur’aan”

– Faidah 2: Timbulnya Permusuhan dari Seluruh Penjuru?

Karena apabila hanya menjelaskan hakikat perbuatan dan pelaku kesyirikan dari al-Qur’an, maka mungkin banyak pihak pada saat itu yang bisa menjelaskannya.

Dan, apabila hanya ini yang dimaukan oleh asy-Syaikh, tentunya bibit permusuhan dan kebencian hanya akan timbul dari pihak yang memang pelaku kesyirikan.

Untuk mendapatkan jawaban, telaah kepada karya beliau yang lain perlu dilakukan.

Misalkan, ketika kita menilik kepada karya beliau risalah “Ashlu Diin al-Islam” (Dasar Agama Islam). Beliau rahimahullaah menetapkan:

أصل دين الإسلام وقاعدته: أمران: الأول: الأمر بعبادة الله وحده لا شريك له، والتحريض على ذلك، والموالاة فيه، وتكفير من تركه. الثاني: الإنذار عن الشرك في عبادة الله، والتغليظ في ذلك، والمعاداة فيه، وتكفير من فعله

“Pokok dan kaidah ajaran Islam ada dua.
Pertama: Perintah beribadah kepada Allah semata tidak ada sekutu bagi-Nya dan MENGEMBAR-GEMBOR-kannya. Memberikan loyalitas/al-wala’ kepadanya dan mengkafirkan orang yang meninggalkannya.
Kedua: Memberikan peringatan dari kesyirikan dalam beribadah kepada Allah dan BERSIKAP TEGAS, dan MEMBANGUN PERMUSUHAN diatasnya, serta MENGKAFIRKAN orang yang melakukannya.”

Ditambahkan lagi oleh beliau rahimahullaah, dalam risalah yang sama, ketika menyebutkan bentuk-bentuk PENYELISIHAN terhadap tawhid dengan mengatakan:

وهؤلاء قد خالفوا ما جاءت به الأنبياء من دين الله سبحانه وتعالى ومنهم: من ترك الشرك وكرهه، ولم يعرف قدره، ولم يعاد أهله، ولم يكفرهم…

“…Dan diantara mereka ada yang MENINGGALKAN KESYIRIKAN, membencinya, tetapi tidak mengerti bahayanya, tidak memusuhi pelakunya dan tidak mengkafirkan mereka.
Mereka inilah yang telah MENYELISIHI ajaran yang SEMUA NABI datang dengan ajaran tersebut, yaitu agama Allaah subhaanahu wa ta’alaa”

Masyarakat saat itu tahu bahwa yang dimaukan oleh asy-Syaikh dalam perkara kesyirikan adalah bahwasanya sekedar meninggalkan kesyirikan itu TIDAK CUKUP.

Sehingga kita mengetahui bahwa sebab utama perselisihan antara asy-Syaikh dengan musuh-nya adalah BUKAN karena masalah jenggot, isbal, dzikir bersama, anti maulid, atau masalah khilafiyyah.

Yang menyebabkan timbulnya perselisihan, baik dari pelaku kesyirikan maupun dari para pembelanya, adalah penegakkan kalimat at-Tawhid dan membangun al-Walaa’ wal-Baraa’ diatasnya.

– Faidah 3: Menyingkap Maksud Penulisan Yang Lain

Untuk mengatakan al-Qawa’id al-Arba’ mengandung maksud al-Walaa wal-Baraa tentunya membutuhkan tambahan qarinah/indikator.

Karena mungkin saja seorang penulis mengkhususkan satu maksud penulisan pada suatu karya, dan mengkhususkan maksud yang lain pada karya-nya yang lain pula.

Sehingga sah-sah saja apabila, orang beranggapan bahwa al-Qawa’id al-Arba’ mempunyai maksud khusus menjelaskan perkara kesyirikan, tapi al-Wala wal Baraa tidak dimaksudkan disitu.

Maka, sekali lagi, pentingnya menelaah karya-karya yang ditinggalkan oleh beliau rahimahullah.

Walhamdulillaah, ditemukan dua qarinah/indikator yang mengarah kepada adanya maksud penulisan yang lain pada “al-Qawa’id al-Arba'”.

Pertama, risalah “al-Qawa’id al-Arba'” merupakan sebuah karya tentang pembahasan tawhid, sama seperti risalah “Ashlu Diin al-Islam”.

Dalam al-Qawa’id al-Arba’ asy-Syaikh menjelaskan bahwa risalah ini sebagai empat pondasi dalam memahami kesyirikan.
Akan tetapi dalam “Ashlu Diin al-Islam”, asy-Syaikh menjelaskan bahwa memahami dan meninggalkan kesyirikan BELUMLAH CUKUP, sampai dibangun diatasnya al-Walaa’ wal-Baraa’.

Sehingga sudah sepatutnya kita menggabungkan dua makna tersebut.

Karena bagaimana bisa sebuah karya yang sama-sama membahas tawhid, tapi apa yang dijadikan dasar justru luput dari maksud penulisan?

Kedua dan ini merupakan indikator yang sangat kuat, ternyata asy-Syaikh mempunyai beberapa risalah yang mempunyai judul SEPERTI “al-Qawa’id al-Arba'”, bahkan mempunyai konten yang sama.

Dalam “ad-Durar as-Saniyyah”, disebutkan bahwa beliau rahimahullah mempunyai risalah yang berjudul:

أربع قواعد يميز بها بين المسلمين والمشركين
“EMPAT PONDASI yang dengan itu Seseorang MEMBEDAKAN antara Muslimin dan Musyrikin”

Beliau rahimahullaah memulai risalah tersebut:

بسم الله الرحمن الر حيم
أما بعد: فهذه أربع قواعد ذكرها الله في محكم كتابه، يعرف بها الرجل شهادة أن لا إله إلا الله، ويميز بها بين المسلمين والمشركين; فتدبرها، يرحمك الله

“Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Amma ba’du. Risalah Empat Pondasi ini yang Allaah sebutkan dalam al-Qur’an adalah sebuah risalah yang seseorang mengetahui syahadat Laa ilaaha illaa Allaah, dan MEMBEDAKAN dengannya antara mana Muslimin dan mana Musyrikin.
Maka tadabburi-lah. Semoga Allaah merahmatimu”
[Ad-Durar As-Saniyyah. 2/27.]

Sehingga jelas bahwa tujuan penulisan bukan hanya sekedar untuk mengetahui perbuatan kesyirikan.
Tetapi juga mencakup didalamnya memahami STATUS dari para pelaku kesyirikan tersebut, sehingga para pembaca bisa membangun al-Walaa’ wal-Baraa’ diatasnya.

Karena tanpa mengetahui status-nya, bagaimana al-Walaa’ wal-Baraa’ bisa diwujudkan?

Dari sini pula, jelas bathilnya mereka yang bahwa asy-Syaikh antipati terhadap takfir mu’ayyan terhadap pelaku kesyirikan. 
Karena dari risalah mendasar seperti al-Qawa’id al-Arba’ asy-Syaikh sudah jelas mengisyaratkan hal tersebut, sehingga keliru juga memahami lafadz asy-Syaikh dalam perkara pembatal keIslaman,
“barangsiapa yang melakukan ini, maka telah kafir” bahwa ini adalah takfir muthlaq.

– Penutup

Inilah aqidah asy-Syaikh dalam perkara tawhid. Dimana sekedar berhenti dari kesyirikan belumlah cukup, sampai dibangun al-walaa wal baraa’ terhadap para pelakunya.

Apabila permusuhan datang dari para pelaku kesyirikan, maka tentu bisa dimaklumi.
Akan tetapi masih sulit untuk dimaklumi, sebagaimana sejarah telah mencatat, bahwa salah satu pihak YANG PALING MEMUSUHI da’wah asy-Syaikh justru adalah mereka tidak melakukan kesyirikan, tetapi meng-‘udzur-nya, meng-hias2inya, dan tidak mengkafirkan pelakunya.

Merekalah yang justru GALAK terhadap penda’wah tawhid, MENCAP BURUK kepada penda’wah tawhid dan MENJAUHKAN MANUSIA dari para penda’wah tawhid.

Merekalah PENGGEMBOS da’wah asy-Syaikh Muhammad bin AbdilWahhab.

Maka bagi siapa yang memiliki perhatian terhadap karya dan perjuangan asy-Syaikh harus waspada terhadap pihak yang seperti ini.

Demikianlah da’wah yang dibawa dan diperjuangkan oleh asy-Syaikh Muhammad bin AbdilWahhab rahimahullaah, keturunannya dan para ‘ulama yang lebih dikenal dengan ‘Ulama Najd.

Sebuah da’wah yang jelas dan terang.
Yang fokus untuk menebarkan tawhid, dan mencintai pemeluknya.
Yang fokus untuk memberantas kesyirikan, membenci pelakunya dan pembelanya.

Inilah sebuah da’wah yang meneruskan da’wahnya SELURUH rasul.
Yang akan terus menerus ada penetangnya.
Yang serius dan membutuhkan perjuangan.
Yang hanya dengan da’wah inilah persatuan kaum Muslimin bisa dicapai.

Inilah da’wah at-Tawhid.

Walhamdulillaahirabbil’alamiin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *