Syaikh Shalih Alu Syaikh: Hukum Orang Jahil Akan Tauhid

Perhatikanlah taqrir (penegasan) seputar hukum “orang yang meninggalkan tauhid” dari sisi sebab dan pelebelan menurut Asy-Syaikh Shalih Alu Syaikh berikut ini. Semoga uraian beliau bisa menyingkap kesalahpahaman sebagian salafiyin, duat maupun penuntut ilmunya yang menisbatkan kepada Imam Dakwah dan murid-muridnya bahwa mereka memberi udzur dengan sebab kejahilan pada semua kondisi dan keadaan!

Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh berkata: 

Mukaddimah ke empat: Penulis berkata ((Dan kamu pun tahu apa yang menjadikan mayoritas orang jahil akan hal ini)) yakni tauhid.

Meninggalkan tauhid kembali kepada satu dari dua sebab, atau kedua-duanya sekaligus pada sebagian keadaan:

1- Jahil akan tauhid, sebabnya bisa karena tidak ada orang yang menerangkannya dan bisa karena i’radh (berpaling) dari mencari tahu.

2- Menolak dan sombong. Dan ini terjadi dari orang yang sudah tahu dan tegak padanya hujjah.

Dan masing-masing dari dua perkara diatas menjadikan pelakunya kafir. Barangsiapa tidak mendatangkan tauhid karena berpaling darinya dan tidak tahu (bodoh/jahil) maka dia kafir. Dan barangsiapa tidak mendatangkan tauhid dan (tidak) meninggalkan kesyirikan kepada Allah Ta’aala karena membangkang dan sombong, maka dia kafir.

Oleh karena itu ulama berkata: kekufuran ada dua.

1- Kufur iyba’ (penolakan) dan istikbar (sombong), seperti terdapat pada firman Allah Ta’aala: ((Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali iblis; dia enggan dan takabur dan adalah dia termasuk golongan orang-orang yang kafir)). (QS. 2:34)

2- Keberpalingan, seperti terdapat pada firman-Nya: ((Sebenarnya kebanyakan mereka tidak mengetahui yang hak, karena itu mereka berpaling)). (QS. 21:24)

Dan tidak semua orang kafir, kafirnya karena inad (membangkang) dan istikbar (sombong). Oleh karena itu terdapat pada akhir dari Nawaqidul Islam (pembatal-pembatal keislaman) yang ditulis oleh Imam Dakwah (Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) Rahimahullah, pembatal kesepuluh:

((Berpaling dari agama Allah, tidak mempelajarinya dan tidak mengamalkannya)) tidak penting baginya mempelajari tauhid, tidak penting baginya mengetahui kesyirikan, tidak penting baginya perkara-perkara ini. Berpaling sama sekali dari agama Allah.

Apabila telah jelas hal ini, disini ((sebab yang menjadikan mayoritas orang jahil kan hal ini)) ini dari sisi hukum terhadap realita. Sedangkan yang kami bicarakan barusan dari sisi ta’shil (penegasan hukum masalah). Bahwa Kekufuran kadang terjadi dari jenis keberpalingan dan kejahilan. Dan kadang terjadi dari jenis penolakan dan kesombongan. Adapun dari sisi realita, maksudnya dari sisi vonis kepada seseorang, sesungguhnya orang yang melakukan kesyirikan dikatakan musyrik, apakah dia alim atau jahil.

Dan vonis kepadanya dengan kekafiran bermacam-macam:

Apabila telah ditegakkan kepadanya hujjah, (yakni) hujjah risaliyah, dari orang yang ahli dengannya, agar syubhat hilang dari orang ini, dalam rangka memahamkan dia batasan-batasan yang Allah turunkan kepara rasul-Nya berupa tauhid dan penjelasan seputar kesyirikan. Maka meninggalkan hal ini disisi tegaknya hujjah atas dia, maka orang ini dianggap kafir lahir dan batin.

Adapun orang yang berpaling, secara lahir orang ini diperlakukan dengan perlakuan yang sama dengan orang kafir. Adapun batinnya, sesungguhnya kami tidak memvonis batinnya kafir, kecuali setelah tegaknya hujjah kepadanya. Karena sudah menjadi baku dikalangan ulama bahwa orang yang melakukan zina disebut zaanin (pezina), dan mungkin disiksa, mungkin tidak disiksa. Apabila ia tahu haramnya zina kemudian berzina, maka disiksa. Adapun apabila dia baru islamnya kemudian berzina dan tidak tahu bahwa zina haram, maka lebel melekat kepadanya bahwa dia zaanin (pezina), tapi dia tidak disiksa karena ketidaktahuannya.

Dan ini adalah hasil dari pengkompromian ucapan-ucapan yang bersebrangan seputar perkara ini.

Maka dalam hal ini dibedakan antara kafir lahir dan batin. Dan hukum asal adalah seseorang tidak dikafirkan kecuali setelah hujjah tegak atasnya, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla ((Dan kami tidak mengazab (siapa pun) sampai kami utus seorang rasul)) –Al Isra’: 15. Dan adzab disini berlaku setelah hujjah tegak atas hamba di dunia atau di akhirat. Orang ini kadang diperlakukan seperti perlakuan kepada orang kafir, sebagai penjagaan akan agama dan melindunginya, (seperti) dari sisi (tidak) memintakan ampunan untuknya, (tidak) menyembelih untuknya dan tidak menikahinya dan yang semisalnya dari hukum-hukum.

Maka ucapan pada imam dakwah dalam perkara ini dirinci, antara kufur lahir dan kufur batin. Dan dari sisi penerapannya di lapangan mereka juga merincinya. Ketika menta’shil (menegaskan hukum perkara) mereka bilang, ini kekufuran apakah kufurnya dari jenis keberpalingan, kebodohan atau kufurnya dari jenis penolakan dan kesombongan. Dan dalam penerapan atas person tertentu, mereka mengatakan kepada orang yang telah tegak atasnya hujjah risaliyah yang jelas dan terang, mengatakan dia kafir. Adapun orang yang hujjah belum tegak atasnya, terkadang tidak mengatakan dia kafir, seperti ucapan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab pada sebuah tempat ((Dan jika kami tidak mengkafirkan orang-orang yang berada di kubah Al Kawwaz dan kubah Al Badawi karena tidak ada orang yang mengingatkan mereka)). Asy-Syaikh tidak mengkafirkan penduduk Jubailah dan yang semisal mereka dari orang-orang yang dinegerinya terdapat beberapa berhala di awal kemunculannya, karena tidak sampainya hujjah dengan cukup kepada mereka. Dan sebagian mereka (imam-imam dakwah) mengatakan mereka kafir dan maksudnya bahwa mereka diperlakukan dengan perlakuan kepada orang kafir dalam rangka menjaga dan melindungi perkara syariat dan kewajiban mengikutinya, sampai (pada perkara) si musyrik tidak dimintai ampunan, tidak disembelihkan untuknya, atau diberikan kepadanya kesetiaan, dan hukum-hukum lainnya yang semisal.

Kalau begitu kita pun sampai pada kesimpulan, bahwa ucapan penulis ((Dan kalian pun tahu apa yang menjadikan mayoritas manusia jahil akan perkara ini)) bahwa kejahilan akan tauhid ini sangat-sangat tercela, apakah kita katakan dia kafir dan maksud kami kafir secara lahir, bukan kafir yang lengkap yang merupakan kemurtadan dan keluar dari Islam sama sekali. Melainkan kafir lahir yang melahirkan hukum-hukum lahiriyah di dunia. Atau kita katakan sesungguhnya dengan ini dia telah melakukan bahaya yang besar yaitu dengan jahilnya dia akan tauhid. Dan ini mengabarkan padamu bahwa mayoritas manusia sekarang adalah seperti yang Allah firmankan; ((Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)). (QS. 12:106) dan juga firman-Nya: ((Sebenarnya kebanyakan mereka tidak mengetahui yang hak, karena itu mereka berpaling)). (QS. 21:24)

Maka kebenaran telah jelas, terang dan nyata bagi siapa yang mencarinya akan mendapatinya. Tapi sebab mereka tidak mengetahui kebenaran bukan karena samarnya kebenaran itu, akan tetapi sebabnya adalah keberpalingan dari orang yang berpaling. Allah berfirman: ((Sebenarnya kebanyakan mereka tidak mengetahui yang hak)) kenapa? Apakah karena kebenaran tersembunyi? Atau butuh kepada pemberitahuan-pemberitahuan khusus? Melainkan sebabnya adalah karena mereka berpaling. Maka keberpalingan adalah sebab mereka tidak mengetahui kebenaran.

Dan keberpalingan dari agama seperti ini, keberpalingan dari tauhid, dan tidak mempelajari tauhid dan jahil tentangnya kadang kamu dapati pada orang-orang pilihan, kadang kamu dapati pada da’i-da’i, kadang kamu dapati pada sebagian penuntut ilmu.

Syarah kitab “Kasyf Syubuhat” Syaikh Shalih Alu Syaikh, cet. Pertama. Maktabah Daarul Hijaz. Hal: 135-138

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *