Merujuk Pendapat Syaikh Bin Baz

Penegasan Al ‘Allamah Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Hafidzahullah seputar hukum pelaku syirik besar antara orang yang hujjah telah tegak atasnya dengan orang yang hujjah belum tegak atasnya. 

Beliau berkata pada kitabnya “Al Iydhah wat Tabyiin”  hal 27 – 33:

Berdasarkan keterangan yang telah lalu jelaslah, bahwa membangun kuburan dan terfitnah dengannya serta mengagungkannya termasuk sarana terbesar yang menjerumuskan kepada kesyirikan.

Adapun perbuatan memanggil-manggil penghuninya (mayit), meminta keselamatan kepadanya, meminta hajat dan minta diangkat dari kesulitan kepadanya dan begitu pula memanggil-manggil yang gaib dari bangsa jin, manusia dan malaikat, ini semua kesyirikan yang mengeluarkan dari agama.

Barangsiapa yang seperti ini keadaannya, maka tidak boleh shalat dibelakangnya. Dan barangsiapa yang wafat sedangkan perbuatannya seperti ini, maka ia tidak dimandikan, tidak dishalatkan, tidak dikubur dipekuburan muslimin dan tempat kembalinya ke dalam neraka dan kekal disana, sebagaimana firman Allah Ta’aala: “Sesungguhnya barangsiapa menyekutukan Allah maka Allah haramkan atasnya surga dan tempat kembalinya neraka dan tidak ada bagi orang-orang dzalim seorang pun penolong.”

Hukum ini berlaku bagi orang-orang yang hujjah telah tegak kepada mereka. Adapun orang-orang yang belum tegak atas mereka hujjah dan ia tinggal di negeri yang tidak mengenal Islam selain sikap ghuluw (berlebih-lebihan) kepada orang-orang shalih dan meminta keselamatan kepada mereka dan menyeru-nyeru mereka karena tertipu dengan orang-orang yang mirip seperti ulama yang menghiasi kepada manusia kebatilan ini dan mendiamkan kesyirikan mereka dan peribadatan mereka kepada selain Allah. Orang ini dhahirnya kufur dan perlakuan untuknya di dunia seperti perlakuan kepada orang-orang yang hujjah telah tegak atas mereka. Tidak shalat dibelakangnya, tidak dishalatkan jika wafat, tidak didoakan kebaikan untuknya, tidak dihajikan dan nasibnya diakhirat terserah Allah, karena ia seperti ahli fatrah yaitu orang-orang yang risalah tidak sampai kepada mereka. Dan mereka di hari kiamat nanti diuji dan setelah itu tempat kembali mereka apakah ke surga atau ke neraka.

Ibnu Katsir telah membawakan beberapa hadits dalam perkara ini pada tafsirnya tentang firman Allah Ta’aala “Dan Kami tidak mengadzab (satu kaum) sampai kami utus seorang rasul.”

Beliau berkata: Sesungguhnya hadits-hadits seputar masalah ini sebagiannya ada yang shahih dan sebagiannya ada yang hasan sebagaimana ditegaskan secara nash oleh lebih dari seorang ulama. Dan diantaranya ada juga yang lemah dan menjadi kuat dengan adanya hadits yang shahih dan hasan. Dan jika hadits-hadits yang sama saling menguatkan seperti ini tentu menjadi hujjah bagi orang yang melihatnya.

Adapun jika orang yang diminta ada dihadapannya atau hukumnya seperti orang yang hadir, sebagaimana perbincangan melalui telepon, maka meminta keselamatan kepadanya dari hal-hal yang disanggupi  dari perkara-perkara yang nyata, seperti membantunya dengan harta sebagai pinjaman, sedekah atau bantuan pada kebutuhan-kebutuhan lainnya yang umumnya disanggupi, hal ini tidak terlarang seperti yang Allah kisahkan tentang Musa “Maka orang dari kaumnya minta keselamatan kepada Musa dalam menghadapi orang yang diluar kaumnya.”

Maka jelaslah berdasarkan keterangan yang lalu perbedaan antara kufurnya orang yang hujjah telah tegak kepadanya dan tempat kembalinya neraka dan kekal disana dengan kufurnya orang yang hujjah belum tegak kepadanya, seperti kufurnya ahlifatrah dan kufurnya orang-orang yang serupa dengan mereka dari orang-orang yang tumbuh besar diatas sikap ghuluw kepada orang-orang shalih dan meminta-minta keselamatan kepada mereka, mereka tidak mengenal Islam selain ritual ini, mengikuti orang-orang yang mirip dengan ulama yang menyesatkan mereka. Karena orang-orang ini nasibnya di akhirat kembali kepada Allah, mereka diuji (kembali) dan setelah itu sebagian mereka ke surga dan sebagian lainnya ke neraka.

Dan diantara yang menjelaskan hal ini, bahwa musibah yang menimpa orang-orang awam sebabnya adalah mereka tertipu dan mengikuti orang-orang yang mirip ulama. Bahwa seorang syaikh besar di negerinya memiliki kedudukan yang tinggi, menulis tulisan tentang Sayyid Al Badawi dan menyebutkan pada bagian mukaddimah tulisannya, bahwa ia menulis baris pertama darinya di altar pekuburan Al Badawi!

Dan orang selainnya dahulu seorang dosen di kuliah syariah pada salah satu negara-negara Arab. Aku mendengarnya berkata bahwa ketika ia menziarahi kuburan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ia  tidak membaca apa pun selain ucapannya: Aku mendatangimu wahai Rasulullah! Maksud perkataannya adalah seperti yang terdapat dalam firman Allah “Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” Akan datang penjelasan maksud dari ayat ini yang sebenarnya.

Maka pemisahan yang terdapat pada tulisan ini antara orang yang hujjah telah tegak atasnya dengan orang yang hujjah belum tegak atasnya, adalah yang mu’tamad (pendapat yang kuat). Maka ucapan apa pun yang pernah didengar atau pernah ditulis dari saya, kemudian dipahami darinya dengan pemahaman yang bersebrangan dengan hal ini, yang demikian itu bukan sandaran. Melainkan yang menjadi sandaran adalah rincian yang terdapat pada tulisan ini.

Dan pemisahan yang saya sebutkan ini mirip dengan apa yang disebutkan guru kami Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah pada Majmu’ Fatawa (1/49):

((Akan tetapi yang dominan atas para penyembah kubur adalah mendekatkan diri kepada penghuninya dengan cara thawaf mengelilinginya. Sebagaimana mereka mendekatkan diri kepada penghuni kubur dengan cara menyembelih sembelihan untuknya dan bernazar untuknya. Dan semua ini merupakan syirik besar. Barangsiapa mati diatas ajaran ini ia mati sebagai orang kafir, tidak dimandikan, tidak dishalatkan, tidak dikubur dipekuburan muslimin dan nasibnya di akhirat kembali kepada Allah. Apabila di dunia dia termasuk orang yang dakwah belum sampai kepadanya, maka hukumnya seperti ahlifatrah.))

Beliau juga mengatakan pada kitab yang sama (9/40): ((Barangsiapa mati diatas kesyirikan maka ia berada diatas bahaya yang besar)) kemudian beliau menyebutkan ayat-ayat dan berkata melanjutkan:

((Maka ancaman atas mereka dan tempat kembali mereka adalah seperti keumuman orang-orang kafir kufur akbar. Hukum bagi mereka di dunia tidak dimandikan, tidak dishalatkan dan tidak dikubur dipekuburan muslimin. Adapun jika salah seorang dari mereka dakwah belum sampai kepadanya, yang saya maksud dengan dakwah adalah Al Qur’an dan sunnah, orang ini nasibnya kembali kepada Allah Ta’aala seperti ahlifatrah. Dan yang kuat menurut ulama dalam masalah ini berkenaan dengan ahlifatrah, bahwa mereka diuji di hari kiamat. Barangsiapa lulus ujian dia masuk surga dan barangsiapa membangkang dia masuk neraka)) sampai pada perkataannya:

((Adapun jika salah seorang dari mereka terdapat padanya kejahilan atas perbuatannya melakukan kesyirikan, maka nasibnya kembali kepada Allah Azza wa Jalla dan hukum atas mereka sesuai dhahir. Barangsiapa dhahirnya kesyirikan hukum atasnya sesuai hukum musyrikin dan nasibnya kembali kepada Allah Jalla wa ‘Ala Yang Maha Mengetahui segala sesuatu, Maha Suci Dia dan Maha Tinggi.))

Dan banyak terdapat pada fatwa-fatwa Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah ucapan kafirnya orang-orang yang minta keselamatan kepada selain Allah dari orang-orang mati dan gaib secara mutlak. Dan ucapan beliau yang aku bawakan disini adalah pemisahan antara orang yang hujjah telah tegak atasnya dengan orang yang hujjah belum tegak atasnya. Maka ucapan beliau yang menegaskan akan kafirnya orang yang hujjah telah tegak atasnya diberlakukan kepada kekufuran yang jelas dan terang dimana tempat kembali para pelakunya kepada neraka dan kekal disana. Dan ini berbeda dengan orang yang hujjah belum tegak atasnya dan bersamaan dengan itu dhahir perbuatannya adalah kekufuran dan diperlakukan seperti perlakuan kita kepada orang-orang kafir. Sesungguhnya tempat kembali orang ini di akhirat setelah diuji apakah ke surga atau ke neraka. Dengan demikian bisa dikompromikan antara ucapan beliau Rahimahullah yang mengkafirkan secara mutlak dengan ucapan beliau yang terdapat padanya rincian. -selesai nukilan.

Catatan: Inilah pendapat yang paling adil dan lebih dekat kepada kebenaran dan sesuai dengan metode pengkompromian nash-nash. Wallahua’lam.

Jafar Salih

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *